“SOLUSI DOSA (7): KEKUDUSAN PRAKTIS”
Saya percaya para pembaca yang dengan seksama mengikuti sejak awal
tulisan ini akan memahami apa yang disebut sebagai asas-asas dasar dalam
pengajaran kekristenan khususnya menyangkut keselamatan. Meskipun tidak
dibuat sebagai kurikulum, tetapi Alkitab mengandung hikmat Allah dengan
muatan pedagogik yang bersifat linier atau garis lurus menuju sebuah
titik puncak. Diawali dari berita keselamatan oleh iman dan berproses
menuju tujuannya yaitu supaya setiap orang beriman semakin serupa dengan
Kristus dalam karakter. Semakin serupa dengan gambar Kristus adalah
tujuan akhir dari setiap murid. Orang-orang beriman seperti inilah yang
efektif bagi proyek pekerjaan Tuhan secara holistik. Tetapi tujuan ini
tidak mungkin diwujudkan jika asas-asas pedagogik Alkitabiah tidak
dimengerti dengan baik. Semoga tulisan ini bisa memberikan sedikit
banyak pencerahan bagi para pembaca yang ingin menerima keselamatan dan
hadiah sorgawi dari Tuhan.
Kembali ke topik pembahasan. Dalam
tulisan yang lalu secara panjang lebar telah dijelaskan arti pengudusan.
Pengudusan itu didasarkan pada pewahyuan (inspirasi) yang sifatnya
progresif. Bermula dari tindakan Allah yang menguduskan Adam dan Hawa
dengan cara membuat dan menyematkan cawat kulit binatang (pra hukum
Taurat), berlanjut pada imamat bangsa Israel yang dipenuhi dengan
nilai-nilai kekudusan Allah (masa hukum Taurat) dan terakhir berpuncak
pada penyataan Yesus Kristus sebagai Anak Domba Allah yang dikorbankan
untuk pengampunan dosa-dosa manusia (penggenapan hukum Taurat). Setelah
Yesus Kristus berkata “sudah selesai” (Yoh. 19:30) maka bayangan
pengorbanan Yesus yang menguduskan sebelumnya (pra dan masa hukum
Taurat) menjadi jelas dan terang benderang. Inspirasi Allah mengenai
pengudusan sudah mencapai puncaknya. Oleh sebab itu tidak ada sesuatu
yang perlu ditambahkan ke dalam karya-Nya.
Semua orang yang
percaya kepada karya Yesus yang sempurna, secara cuma-cuma dianugerahkan
kekudusan yang sempurna pula. Kekudusan yang setara dengan kekudusan
Allah. Bayangkan! Ketika Anda dan saya percaya kepada Yesus Kristus,
maka kekudusan Anda dan saya setara dengan kekudusan Allah. Itulah
kekudusan posisional dan status. Jika bapaknya kudus, maka anak-anaknya
pun kudus juga. Semua orang percaya mempunyai hubungan baru dengan
Allah. Dia mendapat status dan posisi yang baru sebagai anak Allah
melalui iman. Sebagai keluarga Allah, Yesus adalah “yang sulung” dan
semua orang pecaya sebagai saudara-Nya. Firman Tuhan: “Sebab semua orang
yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula
untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu,
menjadi yang sulung di antara banyak saudara (Rom. 8:29). Oleh sebab itu
posisi dan status orang percaya adalah sama dalam hal kekudusan dengan
posisi dan status Yesus Kristus. Bukankah itu ajaib?
Berdasarkan kebenaran ini dengan tegas Paulus mengatakan bahwa semua
orang percaya adalah orang kudus. Dia menuliskan: “kepada jemaat Allah
di Korintus, yaitu mereka yang dikuduskan dalam Kristus Yesus dan yang
dipanggil menjadi orang-orang kudus, dengan semua orang di segala
tempat, yang berseru kepada nama Tuhan kita Yesus Kristus, yaitu Tuhan
mereka dan Tuhan kita” (1 Kor. 1:2). Posisi dan status orang kudus tidak
diberikan karena seseorang melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Tidak pula diberikan oleh institusi tertentu, melainkan karena hanya
beriman kepada Yesus Kristus.
Perhatikan ayat ini baik-baik.
Kata “dikuduskan” dituliskan dalam bentuk kalimat pasif (pasif voice).
Obyek kalimat ini adalah “mereka” yang dikuduskan. Meskipun subyek
kalimat tidak disebut dengan jelas, Allah adalah Subyek yang aktif
menguduskan dan hal itu dilakukan di “dalam Yesus” bukan karena
perbuatan baik atau sejenisnya dan bukan pula diberikan oleh sebuah
institusi tertentu. Kata “dikuduskan” membuat obyek pengudusan pasif dan
tidak ada indikasi mereka aktif mengupayakannya. Jadi pengudusan yang
dilakukan Tuhan kepada setiap orang yang percaya adalah pekerjaan Allah
semata. Sekarang menjadi sangat jelas perbedaan kudus menurut
pengertian Allah dan pengertian manusia. Kudus menurut Allah terjadi
HANYA melalui iman dalam Yesus Kristus.
Lalu, apakah
orang-orang yang telah dikuduskan tidak lagi punya tanggungjawab dalam
hidup keimanannya. Dengan kata lain, apakah orang-orang kudus bebas
melakukan apapun termasuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan
kekudusan itu? Banyak orang Kristen mendebat doktrin pengudusan ini
dengan alasan jika kekudusan orang percaya hanya dianugerahkan oleh
Tuhan, maka akan membuat orang-orang percaya tersebut hidup sembarangan
dan sembrono. Mereka akan bebas melakukan dosa. Kelompok ini percaya
memang Yesus datang untuk mengampuni dosa. Tetapi jika orang percaya
tidak membangun dan mengupayakan kekudusan, maka kelak mereka tidak akan
masuk sorga. Benarkah demikian? Mari kita teruskan membahas ayat di
atas. Firman Tuhan akan menjawab perdebatan ini dan tidak akan
membiarkan terjadi kebingungan.
Perhatikan pula argumentasi
berikut ini. Pertama, frasa: “Kepada jemaat Allah di Korintus, yaitu
mereka yang dikuduskan dalam Kristus Yesus.” Dengan jelas dan tegas
Paulus menyebut semua orang percaya di Korintus sebagai orang kudus
meskipun kenyataannya mereka masih banyak melakukan dosa, bahkan
dosa-dosa berat. Harap diingat, jemaat Korintus adalah jemaat yang
mempunyai banyak kelemahan. Dosa telah merasuki hidup orang-orang
percaya di sana. Oleh sebab itu Paulus menuliskan surat berupa teguran
keras kepada jemaat itu. Namun demikian Paulus tidak menolak kekudusan
posisi mereka. Paulus tidak membuang mereka. Dia masih mengakui mereka
sebagai orang kudus. Itu membuktikan bahwa kukudusan posisi dan status
kudus itu bersifat kekal karena Allahlah yang menganugerahkan, bukan
karena diupayakan. Jika posisi dan status kudus tersebut merupakan upaya
jemaat, maka ketika mereka melakukan dosa, hilanglah kekudusan yang
telah dibangun. Namun kenyataannya tidak demikian.
Kedua,
frasa “yang dipanggil menjadi orang-orang kudus.” Apa artinya? Sekilas
frasa ini terlihat kontradiktif atau setidaknya tumpangtindih (overlap)
dengan frasa sebelumnya. Bukankah pada frasa pertama semua orang percaya
disebut orang kudus? Jika demikian, mengapa Paulus masih menyebut
jemaat itu “dipanggil menjadi orang kudus” ? Tidakkah ayat tersebut
kontradiktif?
Jika tidak dipahami konsep kekudusan dengan benar,
maka memang tampaknya ayat ini kontradiktif. Tetapi kenyataannya tidak
demikian. Jika diperhatikan dari struktur kalimat kata “orang yang
dikuduskan” pada frasa pertama berbeda dengan “menjadi orang-orang
kudus” dalam frasa kedua. Yang pertama ditulis dalam kalimat “past
tense” dalam bentuk pasif dan yang kedua “future tense.”
Dengan demikian Paulus memberi dua makna kekudusan:
Pertama, kekudusan posisi dan status. Hal ini sudah dijelaskan di atas.
Kekudusan posisi atau status diberikan kepada seseorang melalui iman.
Sebagai anak Allah orang tersebut adalah kudus. Kekudusan ini terjadi
sekali saja untuk selamanya. Jika Anda dan saya adalah anak, selamanya
akan tetap sebagai anak dari bapak dan ibu yang melahirkan kita. Hal itu
terjadi seketika dan langsung. Tidak ada satupun hukum atau perbuatan
manusia, bahkan perbuatan orangtua atau siapapun, yang bisa memutuskan
status dan posisi kita sebagai anak. Jadi, tidak dikenal istilah “mantan
anak.” Posisi dan satatus anak adalah untuk selamanya atau permanen.
Sekali anak tetap anak, apapun yang terjadi!
Kedua, kekudusan
praktis atau kekudusan yang implementatif. Kekudusan dalam frasa kedua
ini disebut juga dengan kekudusan praktis dan progresif, yaitu kekudusan
yang diwujudkan dalam tindakan atau sikap. Di satu sisi semua orang
percaya telah dikuduskan, tetapi di sisi lain mereka juga
bertanggungjawab melakukan kehidupan kudus secara praktis. Kekudusan ini
terus menerus diupayakan sebagai respons yang wajar dari orang-orang
yang sudah dikuduskan secara posisi. Itu sebabnya kekudusan ini
bersifat progresif. Makna kekudusan ini akan lebih dipahami melalui
ilustrasi berikut ini. Seorang bayi yang baru lahir, status dan
posisinya adalah anak dalam sebuah keluarga. Sebagai manusia dia telah
sempurna seperti orang tuanya. Tetapi dari perspektif pertumbuhan dia
berbeda. Seorang bayi belum sempurna dalam pikiran, sikap dan perbuatan.
Dia butuh waktu untuk bertumbuh ke arah kedewasaan.
Orang
dewasa adalah orang yang sudah bertumbuh secara pisik, pikiran dan
tingkah laku tetapi seorang bayi tentunya belum. Prinsip ini berlaku
dalam dunia rohani. Anda dan saya bisa saja gagal mewujudkan kekudusan
praktis jika tidak mengalami pertumbuhan. Orang yang tidak bertumbuh
akan tetap dikategorikan bayi rohani sebagaimana dialami jemaat Ibrani.
Dalam suratnya penulis kitab Ibrani menuliskan: “Sebab sekalipun kamu,
ditinjau dari sudut waktu, sudah seharusnya menjadi pengajar, kamu masih
perlu lagi diajarkan asas-asas pokok dari penyataan Allah, dan kamu
masih memerlukan susu, bukan makanan keras.Sebab barangsiapa masih
memerlukan susu ia tidak memahami ajaran tentang kebenaran, sebab ia
adalah anak kecil. Tetapi makanan keras adalah untuk orang-orang dewasa,
yang karena mempunyai pancaindera yang terlatih untuk membedakan yang
baik dari pada yang jahat” (Ibr. 5:12-14).
Dalam konteks inilah
Paulus menyebut orang-orang Korintus “dipanggil menjadi (to be) orang
kudus.” Suatu panggilan untuk bertumbuh dalam kebenaran, iman dan
kekudusan. Semua “orang kudus” harus menunjukkan sikap hidup yang kudus
secara praktis. Seperti seorang bayi yang baru lahir, dia harus
bertumbuh menuju kedewasaannya. Pertumbuhan ini tidak terjadi sekali
saja tetapi berproses secara progresif tanpa henti. Ketika seorang bayi
terus menerus mengalami pertumbuhan, maka pada titik tertentu dia akan
dewasa. Demikian juga halnya dengan semua orang kudus, akan terus
bertumbuh menuju kedewasaannnya yang penuh yaitu semakin serupa dengan
gambar Yesus Kristus. Itulah panggilan untuk hidup kudus atau disebut
dengan “menjadi orang kudus.” Hal ini menjadi tanggungjawab semua orang
kudus tanpa terkecuali.
Meskipun orang percaya telah mencapai
kedewasaannya dengan hidup kudus secara praktis, tetapi kekudusan
tersebut bukanlah jalan keselamatan. Kekudusan praktis bukanlah syarat
seseorang diterima Allah di dalam kerajaan-Nya. Alkitab secara konsisten
mengatakan bahwa untuk diterima Allah dalam kerajaan-Nya maka seseorang
harus menerima anugerah kekudusan posisi dan status sebagai anak Allah.
Satu-satunya cara untuk memiliki kekudusan ini adalah melalui iman
dalam Yesus Kristus, bukan melalui pekerjaan dan perbuatan manusia.
Sedangkan kekudusan praktis adalah sebagai hasil dari proses
pendewasaan. Buah-buah kekudusan yang terlihat dalam kehidupan praktis
akan menentukan bagian yang akan mereka terima di dunia dan sorga kelak.
Apakah Anda dan saya akan mendapat pujian atau rasa malu saat bertemu
dengan Allah tergantung apakah kita berhasil atau tidak membangun
kekudusan praktis selama hidup di dunia. Bagaimana dengan Anda? Apakah
Anda telah menerima anugerah kekudusan yang posisional? Jika belum,
terimalah anugerah itu melalui iman. Apabila sudah, kejarlah kekudusan
praktis itu.
WARNING
Ibr. 12:14
Berusahalah hidup
damai dengan semua orang dan kejarlah kekudusan, sebab tanpa kekudusan
tidak seorangpun akan melihat Tuhan (to be continued...)
0 komentar:
Post a Comment