Pages

Monday, November 18, 2013

“SOLUSI DOSA (7): KEKUDUSAN PRAKTIS”

“SOLUSI DOSA (7): KEKUDUSAN PRAKTIS”
Saya percaya para pembaca yang dengan seksama mengikuti sejak awal tulisan ini akan memahami apa yang disebut sebagai asas-asas dasar dalam pengajaran kekristenan khususnya menyangkut keselamatan. Meskipun tidak dibuat sebagai kurikulum, tetapi Alkitab mengandung hikmat Allah dengan muatan pedagogik yang bersifat linier atau garis lurus menuju sebuah titik puncak. Diawali dari berita keselamatan oleh iman dan berproses menuju tujuannya yaitu supaya setiap orang beriman semakin serupa dengan Kristus dalam karakter. Semakin serupa dengan gambar Kristus adalah tujuan akhir dari setiap murid. Orang-orang beriman seperti inilah yang efektif bagi proyek pekerjaan Tuhan secara holistik. Tetapi tujuan ini tidak mungkin diwujudkan jika asas-asas pedagogik Alkitabiah tidak dimengerti dengan baik. Semoga tulisan ini bisa memberikan sedikit banyak pencerahan bagi para pembaca yang ingin menerima keselamatan dan hadiah sorgawi dari Tuhan.

Kembali ke topik pembahasan. Dalam tulisan yang lalu secara panjang lebar telah dijelaskan arti pengudusan. Pengudusan itu didasarkan pada pewahyuan (inspirasi) yang sifatnya progresif. Bermula dari tindakan Allah yang menguduskan Adam dan Hawa dengan cara membuat dan menyematkan cawat kulit binatang (pra hukum Taurat), berlanjut pada imamat bangsa Israel yang dipenuhi dengan nilai-nilai kekudusan Allah (masa hukum Taurat) dan terakhir berpuncak pada penyataan Yesus Kristus sebagai Anak Domba Allah yang dikorbankan untuk pengampunan dosa-dosa manusia (penggenapan hukum Taurat). Setelah Yesus Kristus berkata “sudah selesai” (Yoh. 19:30) maka bayangan pengorbanan Yesus yang menguduskan sebelumnya (pra dan masa hukum Taurat) menjadi jelas dan terang benderang. Inspirasi Allah mengenai pengudusan sudah mencapai puncaknya. Oleh sebab itu tidak ada sesuatu yang perlu ditambahkan ke dalam karya-Nya.

Semua orang yang percaya kepada karya Yesus yang sempurna, secara cuma-cuma dianugerahkan kekudusan yang sempurna pula. Kekudusan yang setara dengan kekudusan Allah. Bayangkan! Ketika Anda dan saya percaya kepada Yesus Kristus, maka kekudusan Anda dan saya setara dengan kekudusan Allah. Itulah kekudusan posisional dan status. Jika bapaknya kudus, maka anak-anaknya pun kudus juga. Semua orang percaya mempunyai hubungan baru dengan Allah. Dia mendapat status dan posisi yang baru sebagai anak Allah melalui iman. Sebagai keluarga Allah, Yesus adalah “yang sulung” dan semua orang pecaya sebagai saudara-Nya. Firman Tuhan: “Sebab semua orang yang dipilih-Nya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara (Rom. 8:29). Oleh sebab itu posisi dan status orang percaya adalah sama dalam hal kekudusan dengan posisi dan status Yesus Kristus. Bukankah itu ajaib?

Berdasarkan kebenaran ini dengan tegas Paulus mengatakan bahwa semua orang percaya adalah orang kudus. Dia menuliskan: “kepada jemaat Allah di Korintus, yaitu mereka yang dikuduskan dalam Kristus Yesus dan yang dipanggil menjadi orang-orang kudus, dengan semua orang di segala tempat, yang berseru kepada nama Tuhan kita Yesus Kristus, yaitu Tuhan mereka dan Tuhan kita” (1 Kor. 1:2). Posisi dan status orang kudus tidak diberikan karena seseorang melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Tidak pula diberikan oleh institusi tertentu, melainkan karena hanya beriman kepada Yesus Kristus.

Perhatikan ayat ini baik-baik. Kata “dikuduskan” dituliskan dalam bentuk kalimat pasif (pasif voice). Obyek kalimat ini adalah “mereka” yang dikuduskan. Meskipun subyek kalimat tidak disebut dengan jelas, Allah adalah Subyek yang aktif menguduskan dan hal itu dilakukan di “dalam Yesus” bukan karena perbuatan baik atau sejenisnya dan bukan pula diberikan oleh sebuah institusi tertentu. Kata “dikuduskan” membuat obyek pengudusan pasif dan tidak ada indikasi mereka aktif mengupayakannya. Jadi pengudusan yang dilakukan Tuhan kepada setiap orang yang percaya adalah pekerjaan Allah semata. Sekarang menjadi sangat jelas perbedaan kudus menurut pengertian Allah dan pengertian manusia. Kudus menurut Allah terjadi HANYA melalui iman dalam Yesus Kristus.

Lalu, apakah orang-orang yang telah dikuduskan tidak lagi punya tanggungjawab dalam hidup keimanannya. Dengan kata lain, apakah orang-orang kudus bebas melakukan apapun termasuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan kekudusan itu? Banyak orang Kristen mendebat doktrin pengudusan ini dengan alasan jika kekudusan orang percaya hanya dianugerahkan oleh Tuhan, maka akan membuat orang-orang percaya tersebut hidup sembarangan dan sembrono. Mereka akan bebas melakukan dosa. Kelompok ini percaya memang Yesus datang untuk mengampuni dosa. Tetapi jika orang percaya tidak membangun dan mengupayakan kekudusan, maka kelak mereka tidak akan masuk sorga. Benarkah demikian? Mari kita teruskan membahas ayat di atas. Firman Tuhan akan menjawab perdebatan ini dan tidak akan membiarkan terjadi kebingungan.

Perhatikan pula argumentasi berikut ini. Pertama, frasa: “Kepada jemaat Allah di Korintus, yaitu mereka yang dikuduskan dalam Kristus Yesus.” Dengan jelas dan tegas Paulus menyebut semua orang percaya di Korintus sebagai orang kudus meskipun kenyataannya mereka masih banyak melakukan dosa, bahkan dosa-dosa berat. Harap diingat, jemaat Korintus adalah jemaat yang mempunyai banyak kelemahan. Dosa telah merasuki hidup orang-orang percaya di sana. Oleh sebab itu Paulus menuliskan surat berupa teguran keras kepada jemaat itu. Namun demikian Paulus tidak menolak kekudusan posisi mereka. Paulus tidak membuang mereka. Dia masih mengakui mereka sebagai orang kudus. Itu membuktikan bahwa kukudusan posisi dan status kudus itu bersifat kekal karena Allahlah yang menganugerahkan, bukan karena diupayakan. Jika posisi dan status kudus tersebut merupakan upaya jemaat, maka ketika mereka melakukan dosa, hilanglah kekudusan yang telah dibangun. Namun kenyataannya tidak demikian.

Kedua, frasa “yang dipanggil menjadi orang-orang kudus.” Apa artinya? Sekilas frasa ini terlihat kontradiktif atau setidaknya tumpangtindih (overlap) dengan frasa sebelumnya. Bukankah pada frasa pertama semua orang percaya disebut orang kudus? Jika demikian, mengapa Paulus masih menyebut jemaat itu “dipanggil menjadi orang kudus” ? Tidakkah ayat tersebut kontradiktif?
Jika tidak dipahami konsep kekudusan dengan benar, maka memang tampaknya ayat ini kontradiktif. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Jika diperhatikan dari struktur kalimat kata “orang yang dikuduskan” pada frasa pertama berbeda dengan “menjadi orang-orang kudus” dalam frasa kedua. Yang pertama ditulis dalam kalimat “past tense” dalam bentuk pasif dan yang kedua “future tense.”
Dengan demikian Paulus memberi dua makna kekudusan:

Pertama, kekudusan posisi dan status. Hal ini sudah dijelaskan di atas. Kekudusan posisi atau status diberikan kepada seseorang melalui iman. Sebagai anak Allah orang tersebut adalah kudus. Kekudusan ini terjadi sekali saja untuk selamanya. Jika Anda dan saya adalah anak, selamanya akan tetap sebagai anak dari bapak dan ibu yang melahirkan kita. Hal itu terjadi seketika dan langsung. Tidak ada satupun hukum atau perbuatan manusia, bahkan perbuatan orangtua atau siapapun, yang bisa memutuskan status dan posisi kita sebagai anak. Jadi, tidak dikenal istilah “mantan anak.” Posisi dan satatus anak adalah untuk selamanya atau permanen. Sekali anak tetap anak, apapun yang terjadi!

Kedua, kekudusan praktis atau kekudusan yang implementatif. Kekudusan dalam frasa kedua ini disebut juga dengan kekudusan praktis dan progresif, yaitu kekudusan yang diwujudkan dalam tindakan atau sikap. Di satu sisi semua orang percaya telah dikuduskan, tetapi di sisi lain mereka juga bertanggungjawab melakukan kehidupan kudus secara praktis. Kekudusan ini terus menerus diupayakan sebagai respons yang wajar dari orang-orang yang sudah dikuduskan secara posisi. Itu sebabnya kekudusan ini bersifat progresif. Makna kekudusan ini akan lebih dipahami melalui ilustrasi berikut ini. Seorang bayi yang baru lahir, status dan posisinya adalah anak dalam sebuah keluarga. Sebagai manusia dia telah sempurna seperti orang tuanya. Tetapi dari perspektif pertumbuhan dia berbeda. Seorang bayi belum sempurna dalam pikiran, sikap dan perbuatan. Dia butuh waktu untuk bertumbuh ke arah kedewasaan.

Orang dewasa adalah orang yang sudah bertumbuh secara pisik, pikiran dan tingkah laku tetapi seorang bayi tentunya belum. Prinsip ini berlaku dalam dunia rohani. Anda dan saya bisa saja gagal mewujudkan kekudusan praktis jika tidak mengalami pertumbuhan. Orang yang tidak bertumbuh akan tetap dikategorikan bayi rohani sebagaimana dialami jemaat Ibrani. Dalam suratnya penulis kitab Ibrani menuliskan: “Sebab sekalipun kamu, ditinjau dari sudut waktu, sudah seharusnya menjadi pengajar, kamu masih perlu lagi diajarkan asas-asas pokok dari penyataan Allah, dan kamu masih memerlukan susu, bukan makanan keras.Sebab barangsiapa masih memerlukan susu ia tidak memahami ajaran tentang kebenaran, sebab ia adalah anak kecil. Tetapi makanan keras adalah untuk orang-orang dewasa, yang karena mempunyai pancaindera yang terlatih untuk membedakan yang baik dari pada yang jahat” (Ibr. 5:12-14).

Dalam konteks inilah Paulus menyebut orang-orang Korintus “dipanggil menjadi (to be) orang kudus.” Suatu panggilan untuk bertumbuh dalam kebenaran, iman dan kekudusan. Semua “orang kudus” harus menunjukkan sikap hidup yang kudus secara praktis. Seperti seorang bayi yang baru lahir, dia harus bertumbuh menuju kedewasaannya. Pertumbuhan ini tidak terjadi sekali saja tetapi berproses secara progresif tanpa henti. Ketika seorang bayi terus menerus mengalami pertumbuhan, maka pada titik tertentu dia akan dewasa. Demikian juga halnya dengan semua orang kudus, akan terus bertumbuh menuju kedewasaannnya yang penuh yaitu semakin serupa dengan gambar Yesus Kristus. Itulah panggilan untuk hidup kudus atau disebut dengan “menjadi orang kudus.” Hal ini menjadi tanggungjawab semua orang kudus tanpa terkecuali.

Meskipun orang percaya telah mencapai kedewasaannya dengan hidup kudus secara praktis, tetapi kekudusan tersebut bukanlah jalan keselamatan. Kekudusan praktis bukanlah syarat seseorang diterima Allah di dalam kerajaan-Nya. Alkitab secara konsisten mengatakan bahwa untuk diterima Allah dalam kerajaan-Nya maka seseorang harus menerima anugerah kekudusan posisi dan status sebagai anak Allah. Satu-satunya cara untuk memiliki kekudusan ini adalah melalui iman dalam Yesus Kristus, bukan melalui pekerjaan dan perbuatan manusia. Sedangkan kekudusan praktis adalah sebagai hasil dari proses pendewasaan. Buah-buah kekudusan yang terlihat dalam kehidupan praktis akan menentukan bagian yang akan mereka terima di dunia dan sorga kelak. Apakah Anda dan saya akan mendapat pujian atau rasa malu saat bertemu dengan Allah tergantung apakah kita berhasil atau tidak membangun kekudusan praktis selama hidup di dunia. Bagaimana dengan Anda? Apakah Anda telah menerima anugerah kekudusan yang posisional? Jika belum, terimalah anugerah itu melalui iman. Apabila sudah, kejarlah kekudusan praktis itu.

WARNING

Ibr. 12:14
Berusahalah hidup damai dengan semua orang dan kejarlah kekudusan, sebab tanpa kekudusan tidak seorangpun akan melihat Tuhan (to be continued...)

0 komentar:

Post a Comment